Minggu, 30 Maret 2014

Late Love

Cast:    -Park Jiyeon
            -Park Chanyeol
            -Park Family
            -Choi Sulli
            -Bae Suzy

Genre: Flashback, romance, angst.

Haaaiii!! Author kembaliii. Ini cerita bukan dari pikiran author, author nemu di block ‘rongky dorista’. Jadi author ngedit disini. Yaudah dah langsung baca aja ya. Bye byee!!

***

”Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus”

***
 Jiyeon POV
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri, Park Chanyeol.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membenci Chanyeol, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi Chanyeol karena menurut mereka, Chanyeol adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Chanyeol juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku pada Chanyeol sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan Chanyeol. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat Chanyeol meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika Chanyeol memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau Chanyeol menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau Chanyeol memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau Chanyeol menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun rutin meminum pil pencegah kehamilan. Tapi rupanya Chanyeol menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil pencegah kehamilan  dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.Itulah kemarahan terbesarku pada Chanyeol. Kemarahanku semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksa Chanyeol melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Chanyeol dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Chanyeol lah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya Chanyeol mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Chanyeol kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu Sulli, sahabatku dan sekaligus orang yang tidak kusukai, Suzy. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Chanji meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Kata Chanyeol menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Jiyeon-ah, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya Chanyeol cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena Suzy juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil Chanyeol segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone Chanyeol. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon Chanyeol. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, nyonya. Apakah nyonya istri dari tuan Chanyeol?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa Chanyeol mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu Chanyeol di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Chanyeol telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan jantung mendadak-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtua Chanyeol yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika tubuh Chanyeol dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajah Chanyeol yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah Chanyeol berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajah Chanyeol yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang Chanyeol tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari pastor yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal Chanyeol selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Chanyeol tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang Chanyeol makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa Chanyeol adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu Chanyeol mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Chanyeol bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Chanyeol pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat petinya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergian Chanyeol bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat Chanyeol membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggil Chanyeol seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap Chanyeol yang datang. Kebiasaanku yang menelepon Chanyeol setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggu Chanyeol di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkuran Chanyeol, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena Chanyeol sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika Chanyeol melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka Chanyeol membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun Chanyeol sudah tidak ada. Aku marah karena baju-baju Chanyeol masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sembahyang meskipun kini kulakukan dengan tulus. Aku sembahyang karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada tuhan karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sembahyanglah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Tuhan padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian Chanyeol.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan Chanyeol. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah won yang Chanyeol transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana Chanyeol memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh Chanyeol.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Jiyeon tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Tuhan memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin kau susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap Jiyeon sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. 

Jangan menangis, Jiyeon-ku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Park Jichan, putri tercintaku. Maafkan karena appa tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu. Dan Chanji, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Jichan. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, appa akan disana melihatnya. Oke, Buddy!.


Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas Chanyeol kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini Chanyeol memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Chanyeol membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cinta Chanyeol pada kami, sehingga ketika kematian menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya namja yang hadir tak mampu menghapus sosok Chanyeol yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat Chanyeol pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang namja dari Mokpo. Putri kami bertanya, “Eomma, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Jichan kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya Eomma?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta eomma untuk appa? Cinta itukah yang membuat eomma tetap setia pada appa sampai sekarang?”Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti appa mencintai eomma dulu, seperti appa mencintai kalian berdua. Eomma setia pada appa karena cinta appa yang begitu besar pada eomma dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus...

THE END

Gimana ceritanya? Sedih, kan? Huhu. Author aja ampe nangis bacanya. Sekali lagi INI BUKAN CERITA DARI PIKIRAN AUTHOR. Okay? Author Cuma mengopas dan mengeditnya. Sampai ketemu lagi dilain cerita ya? Bye byee!!


Source: https://sites.google.com/site/rongkydorista/arikanamirongtina/cerita-nyata-yang-sangat-sedih-dan-mengharukan

Sabtu, 22 Maret 2014

Do You Remember Me?

Cast :  -Park Jiyeon a.k.a Jiyeon
-Park Chanyeol a.k.a Chanyeol EXO
-Kim Jongin a.k.a Kai EXO
-Lee Jieun a.k.a Jieun
-Choi Jinri a.k.a Sulli

Genre :  Romance, Oneshoot
PG : 14

Haallloo!! Author kembali nih dengan cerita oneshoot yang ber-ending bahagia. Yasudah. Langsung saja ya!! Let’s reading!

***

Seorang yeoja sedang berkutat dengan laptopnya. Mengetik kata demi kata dengan jarinya yang cukup lentik diatas keyboard. Gadis itu mengetik dengan lihai layaknya seorang pengetik profesional. Tugas dari guru yang sangat banyak membuat dia menjadi lihai mengetik.

“Jiyeon!” seorang temannya memanggil dengan nafas tersengal-sengal.
“Oh. Jieun. Ada apa?” gadis itu menunda kerjaannya dan menatap Jieun dengan kebingungan.
“Chanyeol!” kata Jieun.
“Chanyeol? Kenapa Chanyeol? Bukannya aku sudah memutuskannya? Kita sudah tidak berhubungan lagi..” ucap Jiyeon dengan nada sedih. Menyesal telah memutuskan Chanyeol hanya karena jenuh.

“Heiii!! Aku tahu kau masih mencintai Chanyeol.. Sekarang! Chanyeol sedang menuju bandara. Dia akan pindah ke Amsterdam!” histeris Jieun. Dia tahu sahabatnya masih sangat mencintai Chanyeol. Mengingat Jiyeon mempertahankan hubungannya dengan Chanyeol 4 tahun semenjak kelas 2 junior high school.

Mwo? Chanyeol pindah ke Amsterdam?” Jiyeon mengulang kalimat dari Jieun. Ini terlalu cepat..
“Cepat kejar dia sekarang! Aku tak mau kau menyesal!!” 
Jieun mendorong Jiyeon sampai ke pintu kelas. “Bagaimana dengan laptop dan tasku?” Tanya Jiyeon.
“Sudahlah.. biar aku yang mengurus.. sekarang.. cepat kejar dia!!!” teriak Jieun sambil mengepalkan tangannya ke atas.

Jiyeon berlari sekuat tenaga untuk mencapai gerbang sekolah. Dia langsung mencegat taksi dan memasuki taksi tersebut.
Ahjusshi! Ke bandara ya! Tolong cepat.” Pinta Jiyeon pada supir. 
“Ne, agasshi.” Supir itu melaju dengan kecepatan yang Jiyeon inginkan. 
Jiyeon memeriksa kantongnya. Untung saja ada sisa uang yang lebih dari sekedar membayar taksi.

***

Setelah sampai, Jiyeon membayar taksi itu. Dan langsung berlari menuju bandara. Ditengah keramaian dia mencari sosok namja tinggi, putih. Dia berlari kesana kemari untuk mencari sosok Chanyeol, mantan pacarnya. 

“Hosh hosh hosh.. huks huks!” Jiyeon menahan tangisnya di tengah keramaian. “Aku.. terlambat..huks” Dia menutup mulutnya dan berusaha tidak mengeluarkan air mata setetes pun.
Dilihatnya sebuah mesin minuman bertuliskan merk MILO. Dia jadi ingat, itu adalah minuman kesukaan Chanyeol. 
Jiyeon berjalan ke mesin itu, dan memasukkan uang 1000 won. Namun minumannya tak kunjung keluar, malah uang itu keluar. Berkali-kali Jiyeon mencoba namun uang 1000 won yang dimasukkan Jiyeon keluar lagi.

“Nona, uangnya tidak boleh lecek agar mau masuk ke dalam mesin ini.” Terdengar suara namja dari samping Jiyeon.
Jiyeon menoleh. Namja itu tersenyum hangat. Jiyeon membelalakkan matanya. 
“Chanyeol!” Jiyeon memeluk tubuh Chanyeol dengan sangat erat. “Maafkan aku telah memelukmu seperti ini. Maafkan aku sudah tidak tau malu. Aku tau aku bukan siapa-siapa mu lagi. Tapi—“
Chanyeol memotong pembicaraan Jiyeon sambil balas memeluk, “Sudahlah. Jangan banyak bicara. Seharusnya aku yang minta maaf. Maaf telah membuatmu meninggalkanku, maaf tidak memberitahumu tentang kepergianku. Dan.. aku berterima kasih padamu karena sudah menjadi hal terindah dalam hidupku.  Saranghae, Jiyeon” Chanyeol mencium kening Jiyeon hangat.

“Chan, chan, Chanyeol. Apakah kau akan kembali lagi ke, ke, ke korea?” Tanya Jiyeon sambil menangis sampai kalimatnya terputus-putus.
“Mungkin tidak.. tapi kan kita tidak tau ke depannya. Bisa saja tuhan akan mengirimku kembali ke korea. Sudahlah.. jangan menangis.. Hei, aku tidak tertarik dengan wajah jelekmu saat menangis..” ucap Chanyeol tersenyum sambil mengusap air mata Jiyeon dengan ibu jarinya.
“Kuharap kau akan sering menghubungiku.. sam sam sam sampai kapanpun. Huaaaaa aku tidak tahan lagi..” Jiyeon tak berhenti menangis. 
“Pasti. Aku akan menghubungimu jika ada waktu senggang.” Jawab Chanyeol mantap.
“Kau sudah membawa obat migrainmu?” Tanya Jiyeon.
Chanyeol mengangguk.
“Penutup mata?”
Chanyeol mengangguk sambil tersenyum.
“Jaket?”
Lagi-lagi Chanyeol mengangguk.
“Selimut?”
Chanyeol mengangguk mantap.
“Kapan kau akan berangkat?”
Chanyeol melirik arlojinya, “Sebentar lagi.”
“Aku akan mengantarmu sampai dimana para pengantar tidak diperbolehkan masuk.”

Chanyeol dan Jiyeon berjalan beriringan. “Sebentar lagi aku ada ujian kelulusan.” Ucap Jiyeon mencoba riang.
“Minggu depan aku akan tes masuk Universitas of Amsterdam.” Jawab Chanyeol.
“Yaah.. Semoga kau diterima, dan semoga aku lulus..”
“Amin amin.”
“Disana banyak perempuan cantik, ya?” Tanya Jiyeon dengan wajah yang dibuat-buat sedih.
“Pastinya. Dan lebih seksi darimu.” Jawab Chanyeol bercanda.
Jiyeon memutar bola matanya, “Aku tau aku tidak seksi. Awas. Jangan membuat perempuan hamil disana.” 
“Aku hanya bercanda, Jiyeon. Lagipula ada seorang perempuan yang masih aku cintai sejak dulu.”
“Siapa?” Tanya Jiyeon riang.
“Menurutmu siapa?” 
“Aku!” jawab Jiyeon percaya diri.
“Kau percaya diri sekali. Tapi.. memang benar sih jawabannya..” kata Chanyeol tersenyum menggaruk bagian belakang lehernya.
Dan mereka pun tertawa.

Tidak terasa mereka sampai di tempat yang mereka tuju. “Aku mengantarmu sampai sini. Jangan nakal, ne.” kata Chanyeol pada Jiyeon.
Jiyeon mengangguk sambil tersenyum.
“Aku tak tau hubungan kita ini disebut apa. Tetaplah seperti ini sampai tuhan mengatakan kita tetap bersama atau tidak.” gumam Chanyeol pelan sambil berjalan meninggalkan Jiyeon.

***

Five years later

Jiyeon POV
Huh.. Kau tau? Chanyeol tidak menghubungiku selama 3 tahun ini. Dia berbohong padaku! Setelah dia lulus dari universitas, dia kembali ke korea tanpa memberitahuku. Dan.. Dia menjadi salah satu member boyband terkenal sekarang. EXO. Dan aku sudah menjadi dokter di rumah sakit ternama di Seoul. Semua ini demi Chanyeol, kalian tau? Motivasiku adalah Chanyeol. Karena dia selalu belajar serius dan bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi sekarang, tidak lagi. Hah.. Aku membencinya. Apa dia sudah melupakanku? Sudahlah. Jangan bahas dia lagi. Aku muak.

Author POV
“Aku membencinya, aku membencinya!!!” teriak Jiyeon di tepi danau. Arloji Jiyeon sudah menunjukkan pukul 8 pagi. “Aisshh.. Jinja. Dia melupakan janjinya dulu, dan malah enak-enakan sekarang. Hah.. Sudahlah Jiyeon, kau kan sudah putus dengannya jangan menganggapnya sebagai pacarmu. Kau gila?” omel Jiyeon pada dirinya sendiri.

“Sudahlah. Capek ngomel-ngomel terus disini setiap hari. Mending aku pulang ke apartement.” Jiyeon berjalan menuju mobilnya yang terparkir di tepi danau. 

Karena hari ini dia libur, maka hari ini dia menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan saja. Mobil Jiyeon melaju dengan kecepatan sedang karena waktu dia sekarang sangatlah luang. Ketika dia melihat lampu lalu lintas berwarna merah, dia berhenti sambil mendesah kesal. 

Tiba-tiba sebuah bus besar berhenti di sebelahnya, bus yang bergambar foto-foto EXO. Jiyeon mendongak mendapati foto Chanyeol lah yang berada di sampingnya. “Aku muak dengan wajah itu.” gumam Jiyeon datar sambil menatap foto itu. Setelah bosan dengan fotonya, Jiyeon melihat kaca bus. Kaca bus tiba-tiba terbuka, seorang namja tengah melihat ke lampu merah, lalu matanya menangkap sosok Jiyeon. Namja itu tersenyum manis, otomatis Jiyeon juga tersenyum. Dan namja itu pun menutup kaca jendela bus lagi.

Jiyeon masih tidak percaya apa yang namja itu lakukan. “Tadi.. Adalah Kai EXO? Waahh.. Ternyata ini adalah bus EXO. Kalau bus EXO, pasti di dalamnya ada Chanyeol. Aku berharap namja itu tidak melihatku.” 
“TIN TIN TIN!!!” suara klakson dari belakang mobil Jiyeon terdengar. Rupanya sudah lampu hijau. Jiyeon pun cepat-cepat tancap gas.

***

“Wah.. Yeoja itu benar-benar manis..” kata Kai EXO sambil melihat mobil Jiyeon menjauh.
“Mana mana?” tanya D.O.
“Sudah pergi.. Itu mobilnya, yang warna silver. Kalau aku bertemu dia lagi, aku akan mengajaknya berkenalan.” Kai menunjuk sambil memasang smirk.

“Hei. Sudahlah jangan kampungan. Cepat duduk. Kalian mengganggu pemandanganku saja.” sahut Chanyeol tiba-tiba marah.
“Hei, hyung. Kenapa tiba-tiba kau marah? Tidak biasanya.” protes D.O.
Chanyeol terdiam. 

Sebenarnya sejak tadi dia menyadari kalau Jiyeon sedang menatap fotonya dengan tatapan marah bercampur sedih. Dan saat Kai membuka jendela lalu tersenyum pada Jiyeon. Itu membuat Chanyeol marah. 

Dia ingat dia tidak menghubungi Jiyeon karena dia benar-benar sibuk. Dan pada saat dia kembali ke Korea, dia tidak menghubungi Jiyeon karena ingin memberi surprise. Tapi pada saat Chanyeol ke rumah Jiyeon yang dulu, rumah Jiyeon sudah ditempati orang lain. Dan Chanyeol tidak tahu keberadaan Jiyeon. Saat Chanyeol hubungi, nomor Jiyeon sudah tidak aktif. Setelah itu, dia berencana untuk menjadi trainee SM dan menjadi artis supaya Jiyeon bisa melihatnya dan dia bisa mencari Jiyeon dengan mudah.

“Aku menemukanmu, Jiyeon.” gumam Chanyeol tersenyum di dalam bus.

***

Semenjak Jiyeon tersenyum pada Kai, Jiyeon kepikiran terus tentang Kai. Senyumnya sangat manis. Maka dari itu, pulang dari rumah sakit, dia akan mengunjungi fansign EXO. Dia sudah membeli albumnya, tinggal minta tanda tangan Kai.
“Hari ini aku akan bertemu Kai!!” ucap Jiyeon riang yang sekarang sudah menjadi fans dari Kai.

***

“Ini terlalu panjang..” gumam Jiyeon saat mengantri meminta tanda tangan. “Satu, dua, tiga, empat, ..., dua puluh tiga orang lagi..”

Jiyeon melihat-lihat sekitar. Melihat-lihat sesuatu agar dia tidak bosan. Dia menangkap sosok perempuan yang membawa camera, yang lagi meloncat-loncat tidak jelas, mungkin karena kesenangan karena akan bertemu idolanya.

Tidak terasa sudah gilirannya untuk meminta tanda tangan. Jiyeon memasang senyum ramah dan tulusnya.
“Oh! Kau!” kaget Kai. Member EXO menoleh semua pada Kai. Chanyeol disebelah Kai sedang menatap Jiyeon dengan pandangan tidak percaya. Jiyeon tidak menyadari kalau disamping Kai adalah Chanyeol.
“Iya?” tanya Jiyeon.
“Kau yang waktu di lampu merah, kan? Aku tidak tau apa kau mengingatnya atau tidak, tapi pada saat itu aku tersenyum padamu, dan kau membalasnya.” jelas Kai.
“Ooh.. Harusnya aku yang bertanya padamu. Hahaha.. Kita bertemu lagi. Bisakah kau tanda tangan disini?” Jiyeon menunjuk di album. 
“Aah.. Bisa..” Kai mendatanginya.
“Bisakah kau menuliskan nama ‘Park Jiyeon’? Hahaha.. Aku banyak permintaan, ya..” Jiyeon merasa tidak enak.
“Ooh.. Jadi namamu Park Jiyeon.. Tidak papa. Akan kutulis.” jawab Kai dengan wajah riang.

“Jiyeon.” panggil Chanyeol.

Jiyeon menoleh, mata Jiyeon melebar. “Kau?? Bagaimana bisa kau mengingatku??”
Kai memasang tampang bingung menatap mereka berdua.
“Akhirnya.. Kuharap kau menungguku setelah selesai fansign.”
Jiyeon mengangguk datar.

Jiyeon pun mengambil albumnya dan meninggalkan tempat fansign. Berjalan menuju mobil dengan diiringi tatapan tidak suka dari fans-fans EXO yang menghadiri fansign tersebut.

‘Kenapa aku tidak bisa menolaknya? Come on, Jiyeon. Itu adalah namja yang membuatmu menunggu sendirian selama 5 tahun.” pikir Jiyeon dengan wajah merengut.


“Hyung, dia siapa mu?” tanya Kai dengan tatapan kesal.
“Kau mau tau?” tanya Chanyeol sambil menandatangani album fansnya.
“Ne.” jawab Kai singkat.
Chanyeol selesai menandatangani dan berbisik ke Kai, “Dia mantan pacarku. Dan kami masih saling mencintai.”
Kai membelalakkan matanya. “Kau serius, hyung? Yah.. Usahaku gagal lagi untuk mendekati yeoja.” kata Kai dengan nada sedih.
Sementara Chanyeol tersenyum bahagia. Bahkan lebih terlihat tulus bahagia dari biasanya.

***

“Jiyeon-ah,” panggil Chanyeol pelan karena tidak mau fans-fansnya mengetahuinya. Sambil mengenakan kacamata hitam dan topi, Chanyeol menghampiri Jiyeon yang sedang bersandar di pintu mobil.

Jiyeon menoleh dengan tatapan datar. “Cepat. Apa yang mau kau bicarakan padaku? Aku tidak punya waktu.” kata Jiyeon sok sibuk. Padahal hari ini dia bebas. Dia tidak ingin bertemu Chanyeol. ‘Namja’ yang membuatnya menunggu lama dan sia-sia.

“Mwo? Kau tidak merindukanku?” kaget Chanyeol.
“Apa kau kira aku merindukanmu? Sudah lama kita tidak bertemu. Sudah lama. Lima tahun aku menunggumu, kau kemana saja? Kau malah sibuk menjadi bintang. Kau anggap apa aku selama ini? Hah?” 

Chanyeol tak bisa berkutik. Dia cukup kaget melihat perubahan Jiyeon saat ini. Jiyeon yang dulu suka tersenyum, selalu riang, sabar. Dan kini dia menatap Chanyeol sengan tatapan benci. Sungguh. Ini diluar dugaan.

“Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” ucap Chanyeol tiba-tiba memeluk Jiyeon.
Jiyeon berusaha melepas pelukan Chanyeol namun tidak bisa. “Apa yang kau lakukan, brengsek? Lepaskan aku!” 

“Apa kau tak mau tau mengapa aku menjadi artis? Itu semua demi kau. Kau tau apa yang ku lakukan saat pertama kali menginjakkan kaki di Korea? Aku mendatangi rumahmu, namun kau sudah pindah. Aku menghubungimu? Tapi ponselmu tidak aktif. Sampai aku memutuskan untuk menjadi artis demi mencarimu. Kumohon.. Jiyeon yang kukenal tidak seperti ini.. Jiyeon yang kukenal menatapku dengan tatapan riang.. Bukan ini..” jelas Chanyeol panjang lebar masih memeluk Jiyeon.

Sementara yang dipeluk, hanya diam. Mencerna setiap perkataan Chanyeol. Membuat Jiyeon merasa bersalah karena salah paham.

“Mianhae..” kata Jiyeon.
“Kita sama-sama salah. Sudahlah.. Aku tidak apa-apa.”
Akhirnya Chanyeol melepaskan pelukannya.

Dirogohnya saku, dan mendapati satu tiket. Dia berikan pada Jiyeon.
“Apa ini?” tanya Jiyeon.
“Sebentar lagi EXO akan konser. Aku mau kau datang. Ini tiket V.I.P. Kau duduk paling depan. Tak usah bayar. Aku tau kau masih suka hal-hal yang gratis..” jawab Chanyeol dengan tersenyum mengejek.
Jiyeon memukul pundak Chanyeol sambil tertawa, “Already, yeol!”
“Aku akan memberimu surprise. Kau harus mengatakan ‘Ya’ apapun yang terjadi. Oiya. Jangan sampai terlambat, ya. Aku kembali dulu. Bye!” kata Chanyeol seenaknya lalu pergi.

Jiyeon menggelengkan kepalanya. “Orang itu..sama saja.”

***

Hari yang dinanti pun tiba. Jiyeon datang ke konser EXO. Konser dimulai 1 jam lagi, namun area penonton sudah padat. Jiyeon mencari tempat duduk sesuai tiket. Ketika Jiyeon duduk, yeoja disebalahnya ‘Chanyeol chanyeol chanyeol..’

Jiyeon penasaran, “Hai. Kau kenapa?”
Yeoja itu menoleh sambil menjawab, “Aku akan melihat Chanyeol sedekat ini.. Aku deg-degan.. Huhuhu..”
“Biasa saja lah.. Chanyeol tak seperti yang kau pikirkan.. Ngomong-ngomong kau bukan sasaeng fansnya, kan?” kata Jiyeon tersenyum sambil merogoh tasnya mencari ponsel.
Yeoja itu mengerutkan dahinya bingung, “Bukanlah. Aku fans beratnya, tapi tidak sampai sasaeng..aku tidak sebodoh itu.” keduanya tertawa.
“Jiyeon imnida.” ucap Jiyeon mengulurkan tangan.
“Sulli imnida. Senang bertemu denganmu.” balas Sulli sambil tersenyum lebar.

Tiba-tiba ponsel Jiyeon berbunyi. “Sulli, aku mengangkat telpon dulu, ya?”
Sulli mengangguk tersenyum.
“Yeoboseyo, Chanyeol-ah!” Jiyeon memanggil Chanyeol. Dan itu membuat Sulli menoleh cepat.
Jiyeon-ah, apa kau sudah sampai sini?” tanya Chanyeol di backstage.
“Ne.. Aku sudah duduk malahan. Memang kau mau memberi aku apa?” kata Jiyeon. Sulli mendengarkan Jiyeon dengan raut kebingungan.
Ada saja. Kau lihatlah nanti. Ingat. Apapun yang terjadi, kau harus mengatakan ‘Ya’. Right?”
“Iya, bawel. Aku kesini untuk menonton Jongin. Bukan kau.”
Terserah apa kata kau. Aku tutup dulu, ne! Saat aku tampil nanti, kau harus memandangku terus menerus.”
-TIT-

“Jiyeon-ah, itu.....dari Chanyeol? Chanyeol EXO?” tanya Sulli penuh tanda tanya.
“Emm.. I..iya.....” Jawab Jiyeon tergagap.
“Kau.......siapanya Chanyeol?”
“A..aku.... Mantan Chanyeol.. Maafkan aku, Sulli. Aku tidak bermaksud! Lagi pula aku” Jiyeon menunduk.
Raut wajah Sulli terlihat senang.
“Kau mantan Chanyeol? Waaahhh.. Senangnya bisa kenalan dengan orang yang dekat dengan Chanyeol!!”

Jiyeon bingung, “Kau..tidak marah?”
“Buat apa aku marah. Aku bukan sasaeng fans. aku sadar diri kok aku tidak akan pernah bisa menggapai idolaku. Hanya kesenanganku saja untuk menyukainya. Tidak benar-benar menyukainya. Aku pun sudah mempunyai pacar. Heheheh.” terang Sulli.

Jiyeon mengangguk. “Kuharap semua fans di dunia ini berpikiran sepertimu..”

***
Semua member EXO sedang berbaris diatas panggung. Sulli menyenggol Jiyeon karena Chanyeol melihat kearah mereka. Jiyeon tersenyum kearah Chanyeol dan mengepalkan tangan sambil bergumam, “Fighting!”
Chanyeol melihat itu tersenyum senang dan mengacungkan jempolnya. 
Sebelum Chanyeol mengalihkan pandangan, Jiyeon menunjuk kearah Kai dan memberikan tanda ‘Love’ di tangan untuk Kai.
Mendadak Chanyeol bermuka serius lalu mengepal tangannya mengarah ke Jiyeon.
Jiyeon hanya tertawa.

“Waahh!! Ternyata kalian benar-benar saling kenal!!” ucap Sulli girang dan memotret member EXO yang sedang menari.

***

na eureureong eureureong eureureong dae
na eureureong eureureong eureureong dae
na eureureong eureureong eureureong dae
[Kai] mulleo seoji anheumyeon dachyeodo molla

“WAAAA!!!” riuh penonton menggetarkan panggung. Para member EXO berbaris memanjang di panggung.

“Annyeonghaseyo! We are one, we are EXO!” teriak serempak member EXO. Membuat para penonton berteriak riuh.

Jiyeon dan Sulli ikut berdiri dan bertepuk tangan sambil tersenyum senang.

“Annyeonghaseo. Kalau uri Chanyeol melamar seseorang, kalian akan menerimanya, kan?” tanya sang leader Suho di depan mic nya. Seseorang wanita mengangkat tangannya, melihat itu para crew memberikan mic pada wanita itu, “Saya, mewakili seluruh fans EXO diseluruh dunia, akan menerimanya asalkan wanita itu baik hati, dan tidak angkuh. Kami sadar, Chanyeol mempunyai kehidupan sendiri yang kami tidak boleh ikut campur. Sebagai fans, kami hanya mendukung dan mensupport Chanyeol dari belakang. Bukan malah menghalanginya. Itu saja dari saya. Terima kasih.”

Chanyeol pun berkata di depan mic, “Dia adalah mantanku. Dia memutuskanku karena salahku. Seorang dokter di rumah sakit ternama di Seoul. Sikapnya tidak berubah walau aku sudah menjadi idol dunia--”

Jiyeon mendengarkan dengan seksama, jantung Jiyeon berdetak dengan cepat. Apakah dia yang dimaksud?

“--dia malah menjadi fans dari Kai. Bukan aku. Hahaha.”

Semua penonton mengangguk tanda mereka merestui hubungan Chanyeol dan gadis yang dimaksud Chanyeol.

“Aku akan melamarnya sekarang.” ucap Chanyeol.

Chanyeol turun panggung menuju Jiyeon sementara Jiyeon jantungnya semakin berdetak kencang.

“Park Jiyeon. Ambil tanganku.” ucap Chanyeol di mic dan itu membuat penonton sangat riuh.
Jiyeon mengambil tangan Chanyeol. Chanyeol mengajak Jiyeon ke atas panggung.

Chanyeol berlutut dan mengambil sesuatu di kantongnya, sebuah kotak kecil berwarna merah. Chanyeol membukanya dan ada sebuah cincin yang sangat cantik. 

“Jiyeon-ah, Would you be my wife? Sampai maut memisahkan kita?” Chanyeol berucap dengan hati yang tulus.
Jiyeon melihat mata Chanyeol dan mengalihkan pandangan ke Sulli, ternyata Sulli sedang memotret dirinya dengan Chanyeol dengan raut wajah bahagia. Dia melihat penonton dan banyak penonton yang menggangguk kepada Jiyeon.

Jiyeon mengangkat micnya ke mulutnya dan menjawab, “Ne. Pabboya.”

Chanyeol langsung memeluk Jiyeon diiringi tawa seluruh member EXO dan penonton karena Jiyeon menyebut Chanyeol ‘Pabboya’.

Chanyeol memasangkan cincin di jari manis kiri Jiyeon dan berkali-kali mencium puncak kepala Jiyeon.

Singkat cerita Chanyeol dan Jiyeon menikah. Mereka hidup bahagia dikarunian 2 orang anak yeoja dan namja. Yang sama-sama tampan dan cantik seperti orang tuanya.

THE END

Gimana? Hehehe. Endingnya kurang greget banget ya? Wakak. Yaudah lain kali author kembali dengan cerita lebih menarik. Kritik dan saran bisa comment langsung ya. Bye byeee!!